MAKALAH KONSERVASI LINGKUNGAN
RENCANA
KONSERVASI KERUSAKAN EKOSISTEM MANGROVE DI BENGKULU
BIDANG KONSENTRASI:
BUDIDAYA PERAIRAN
Disusun Oleh:
Muhammad Arsyad
KEMENTRIAN
PENDIDIKAN DAN BUDAYA
POLITEKNIK NEGERI
JEMBER
2012
Kondisi
rusaknya hutan mangrove di Bengkulu terutama di sepanjang garis pantai dari
Muko-muko sampai Kaur disebabkan oleh pemanfaatan hutan bakau yang tidak terkontrol, karena
kebutuhan dan ketergantungan masyarakat yang menempati wilayah pesisir sanagat
tinggi dengan pemenfaatan kayu bakau
untuk keperluan rumah tangga. Selai itu itu, juga terjadi konversi hutan
mangrove untuk berbagai kepentingan seperti pembuatan tambak udang di Kabupaten
Bengkulu Utara yang saat ini telah ditinggalkan dan terbengkalai, perkebunan
kelapa sawit yang banyak dimanfaatkan disepanjang pinggir pantai Muko-muko,
Bengkulu Utara, Kota Bengkulu dan Seluma. Hutan mangrove propinsi Bengkulu juga
telah banyak dikonversi ke pembangunan fisik seperti jalan raya pantai panjang
dan pembangunan hotel sepanjang pantai panjang Bengkulu serta pembangunan fisik
sarana pariwisata.
Faktor-faktor
di atas telah menyebabkan kerusakan ekosistem mangrove di Propinsi Bengkulu,
dimana 50 % hutan mangrove di Bengkulu telah rusak dengan sebaran sepanjang 525
km garis pantai Barat Sumatera. Untuk itu maka perlu dilakukan
rehabilitasi hutan mangrove di daerah Bengkulu agar tidak terjadi kerusakan
yang semakin parah.
Dalam
rehabilitasi/konservasi hutan mangrove diperlukan rencana konservasi yang baik
dan benar-benar matang agar rehabilitasi hutan mangrove yang dilakukan sesuai
dengan apa yang telah diharapkan.
Dalam konservasi mangrove diperlukan tahapan-tahapan
kegiatan yang harus selalu diperhatikan dalam perlakuannya. Tahapan-tahapan
tersebut adalah :
1. Persiapan Awal
Yaitu
upaya memahami autokologi mangrove, perbaikan hidrologi, dan mengetahui
gangguan-gangguan yang mengancam proses rehabilitasi. Dengan memahami
autokologi mangrove artinya kita mengetahui sifat-sifat ekologi masing-masing
jenis mangrove yang akan ditanam terutama pada pola reproduksinya, dengan
begitu dalam melakukan konservasi kita dapat memilih jenis mangrove yang lebih
cepat berkembang sesuai area ditetapkan. Seperti contoh, jika area konservasi
tertuju pada bekas tambak yang terbengkalai maka sebaiknya menggunakan jenis
mangrove yang memiliki buah kecil. Jika menggunakan jenis mangrove seperti
Rhizophora mucronata dan Xylocarpus sp. yang memiliki buah besar,
maka dalam perkembangannya tidak secepat dan semudah buah yang lebih kecil.
Buah mangrove yang lebih besar lebih sulit untuk masuk ke areal bekas tambak
udang di mana pintu keluar masuk arus secara alami telah dihalangi oleh
pematang atau tegalan. Sedangkan pada buah yang lebih kecil seperti Avicennia
sp., Aegiceras sp. dan buah mangrove kecil lain seperti Sonneratia
sp. dapat mengapung jauh mengikuti arus pada daerah tergenang. Karena itu,
jenis – jenis ini bisa dengan mudah mencapai tempat baru atau yang telah rusak
dan jika kondisi tanahnya cocok mereka akan cepat tumbuh. Spesies-spesies ini
dikenal sebagai spesies pionir.
Faktor lain dalam persiapan awal perencanaan konservasi
mangrove adalah menentukan hidrologi normal (kedalaman dan frekwensi genangan
air) dari tanaman mangrove alami (lokasi pembanding) di areal yang akan
dikonservasi. Khusus untuk kedalaman, masing-masing spesies
mangrove tumbuh pada ketinggian substrat yang berbeda, tergantung dari kekuatan
daya adaptasi mangrove terhadap genangan air. Dengan mengetahui hal tersebut
maka dapat ditentukan jenis mangrove yang nanti akan ditanam pada area
konservasi, yang harus disesuaikan dengan topografi lahan. Salah satu kunci
penting yang harus dilakukan ketika rehabilitasi mangrove adalah mencontoh
tingkat kemiringan dan topografi substrat dari mangrove terdekat yang masih
bagus kondisinya.
Kegiatan terakhir dalam persiapan awal ini adalah mengetahui gangguan yang
dapat menghambat jalannya kegiatan. Seringkali lokasi yang dipilih untuk rehabilitasi
mangrove hanya berdasarkan kondisi dataran yang berupa lumpur (mudflat),
mengandung garam (salt pan) atau laguna dengan asumsi bahwa lahan
tersebut akan lebih baik dan produktif jika dijadikan hutan mangrove.
Sebenarnya dataran lumpur ada juga yang memiliki fungsi ekologi tertentu,
misalnya sebagai tempat mencari makan burung-burung yang bermigrasi, sehingga
penanaman mangrove gagal. Hambatan lain yang dapat mengganggu yaitu sulitnya
air masuk ke area konservasi, untuk itu diperlukan perbaikan saluran atau
membuat saluran air baru agar area konservasi dapat dialiri air yang dibutuhkan
oleh tanaman mangrove.
2.
Persemaian/Pembibitan
Dalam persediaan bibit mangrove, terdapat empat sumber bibit mangrove,
yaitu: membuat persemaian bibit dari sumber benih terdekat, penanaman biji
mangrove secara langsung, penanaman anakan mangrove yang telah tumbuh di alam,
dan penyebaran biji mangrove di areal rehabilitasi pada saat air pasang. Dalam
konservasi yang dilakukan di pesisir Bengkulu ini, akan digunakan bibit
mangrove yang berasal dari sumber bibit terdekat, hal ini dilakukan agar
tanaman mangrove bisa cepat tumbuh tanpa harus menunggu lama. Karena jika
melakukan penanaman biji mangrove secara langsung, maka proses konservasi akan
berlangsung lebih lama dan biji yang ditanam belum tentu tumbuh dengan baik.
Sedangkan apabila menggunakan anakan mangrove yang telah tumbuh di alam,
dikhawatirkan anakan mangrove tersebut tidak dapat tersedia sesuai dengan
ukuran bibit yang diinginkan dan jumlahnya pun terbatas. Dan untuk langkah
penyebaran biji mangrove di area rehabilitasi pada saat air pasang memang cukup
mudah dilakukan, namun tata letak tanam mangrove yang nanti akan tumbuh tidak
beraturan, selain itu tumbuhnya pun cukup lama karena dimulai dari biji.
3. Penanaman
Mangrove
Untuk teknik penanaman mangrove, dapat dilakukan dengan
berbagai cara, sesuai dengan asal bibit/benih yang digunakan. Karena pada
kegiatan konservasi ini bibit yang digunakan berasal dari sumber pembibitan
terdekat (bukan ditanam dari biji), maka teknik penanaman mangrove yang
dilakukan adalah dengan penanamam secara acak, dengan jarak masing-masing bibit
2 meter. Penanaman secara acak dilakukan karena Mangrove alami tidak tumbuh
berjajar, jadi tidak perlu ditanam sejajar. Penanaman berjajar dapat menciptakan
saluran air di antara baris yang dapat mengganggu pasokan air ke mangrove itu
sendiri. Ketika menanam bibit mangrove di lokasi konservasi, tidak perlu diberi
pupuk tambahan apapun. Penambahan pupuk terlalu “memanjakan” akar bibit
mangrove sehingga akarnya tidak aktif tumbuh dan mencari nutrient dengan
sendiri di substrat yang ditumbuhinya.
Untuk teknik penanamannya sendiri, ketika menempatkan
anakan dari polybag ke dalam lobang tanam, lebih baik jika ada seorang yang
memegang benih dan yang lainnya menimbunnya dengan tanah. Hal ini dilakukan
untuk memastikan agar permukaan tanah dari anakan yang di polybag sejajar
dengan permukaan tanah di sekeliling lobang tanam. Fungsi lainnya yaitu agar akar
anakan mangrove bebas dan leluasa masuk di dalam lobang tanam. Akar yang terganggu
oleh lobang yang kurang dalam akan membentuk huruf “J” dan dapat menghambat pertumbuhan
atau bahkan membuat anakan mati. Dan terakhir kita jangan lupa melepas polybag dari
anakannya.
Ukuran lobang tanam satu setengah kali lebih besar dan lebih dalam daripada
ukuran lingkar akar anakan yang akan ditanam. Hal lain yang perlu diperhatikan
adalah setelah penanaman dilakukan, biasanya tanah dipadatkan dengan cara
diinjak, perlakuan seperti ini harus dihindari karena dapat mengurangi kantong-kantong
air tanah yang diperlukan oleh akar. Biarkan tanah di sekitar akar agak gembur
dan jangan dipadatkan.
4. Monitoring
Tahapan terakhir yang akan dilakukan dalam kegiatan
konservasi mangrove di Bengkulu ini adalah melakukan monitoring dari
kegiatan-kegiatan proses konservasi. Hal-hal yang perlu dimonitoring yaitu pengamatan
spesies mangrove yang tumbuh, mengamati waktu pertumbuhan, mengamati karakter
tanaman, mencatat tingkat kegagalan, mencatat tingkat akumulasi sampah, perkiraan
biaya konservasi, pengaruh pemantauan mangrove, karakter ekosistem mangrove
yang direhabilitasi.
Untuk pengamatan spesies mangrove yang tumbuh dilakukan
dengan cara memeriksa sumber asal bibit, dimana akan diketahui jenis spesies
tanaman mangrove yang tumbuh. Untuk waktu pertumbuhan, parameter yang diamati
adalah kepadatan anakan, diamater tangkai, volume dan ketinggian anakan, serta
tingkat pertumbuhan tahunan. Selain itu, perlu jujga dilakukan pengamatan
mengenai karakter tanaman mangrove, dimana faktor-faktor yang diamati adalah
struktur tangkai, tunas, buah dan ketahanan terhadap tanaman terhadap serangan
hama.
Kegiatan monitoring selanjutnya adalah memcatat tingkat
kegagalan yang terjadi, disini kita harus mengetahui faktor-faktor apa saja
yang telah menyebabkan kegagalan dalam melakukan rehabilitasi, sehingga dapat
dilakukan perbaikan dengan cara menghindari hal-hal yang menyebabkan kegagalan
tersebut. Selain mencatat tingkat kegagalan, juga dilakukan pencatatan tingkat
akumulasi sampah, dengan menandai sumber sampah dan langkah yang diambil untuk
meminimalisir permasalahannya.
Tahapan berikutnya adalah menyesuaikan tingkat kepadatan
optimal anakan, apakah yang menyebabkan kepadatan tersebut, apakah akibat
pertumbuhan alami mangrove atau dari penanaman awal, serta mengamati laju
pertumbuhan anakan tersebut.
Perkiraan biaya konservasi juga harus diperhatikan,
dimana perkiraan biayanya termasuk persispan lahan, pengumpulan benih,
pembibitan, penanaman dan hal-hal lainnya.
Dalam monitoring ini juga dilakuan pengamatan terhadap
pengaruh pemanfaatan mangrove, hal ini merupakan bagian dari kegiatan konservasi
dalam jangka panjang. Selain itu, juga diamati tentang karakter ekosistem mangrove
yang direhabilitasi, yang berupa pengamatan flora, fauna dan lingkungan fisik
ekosistem mangrove yang telah dilakukan konservasi dan membandingkannya dengan
kondisi mangrove yang sehat dan tidak terganggu pertumbuhannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar